Disain Ruang Radiasi untuk CT Scan

Pendahuluan
Peningkatan penggunaan teknologi Computed Tomography Scan (CT Scan) yang berkembang pesat, mengakibatkan perubahan praktek radiologi lebih cepat dibandingkan dengan lembaga pendidikan, vendor, penyedia layanan medis dan sertifikasi, serta badan pengawas. Dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi pencitraan CT yang cepat, diperlukan keterlibatan berbagai pihak tersebut bertindak proaktif sebagai agen perubahan untuk mengintegrasikan perkembangan teknologi CT dengan praktek radiologi dan profesi yang berhubungan dengan teknologi radiologi.

CT Scan telah menjadi peralatan yang penting dalam teknik pencitraan diagnostik. Penggunaan CT Scan tidak hanya di bagian radiologi diagnostik, namun juga dapat dijumpai di bagian kedokteran nuklir dan radioterapi. Pada Radioterapi misalnya, CT digunakan sebagai simulator untuk perencanaan tritmen 3D. Bahkan sekarang ini, CT simulator menggeser keberadaan simulator konvensional. CT dapat digunakan untuk determinasi yang cepat dari volum perlakuan, optimisasi distribusi dosis tumor yang seragam, dan mencegah dosis tinggi terhadap struktur yang kritis. Ketika simulasi konvensional digunakan untuk rencana 3D, pasien harus tetap diposisi treatmen untuk waktu yang lama untuk pengambilan beberapa film radiografi. Penggunaan simulator CT dapat meminimalisasi waktu yang dihabiskan pasien dimeja CT.

Pembelian CT Scan yang canggih biasanya memiliki tujuan untuk diagnosis yang cepat dan tepat serta sebagai proses untuk pengendalian dosis. Semakin canggih peralatan seharusnya semakin kecil risiko dosis yang ditimbulkan pada pasien maupun pekerja. Jika dilakukan pembelian peralatan yang tidak pantas atau tidak memadai maka tidak akan dapat diperoleh optimisasi dosis yang sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu, peralatan dengan teknologi baru itu harganya mahal dan merupakan investasi modal yang cukup besar dalam praktek radiologi. Jika peralatan yang tidak pantas dibeli maka akan mengakibatkan tidak terpenuhinya persyaratan klinis dan dapat menyebabkan dosis pasien dan pekerja yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipastikan bahwa pemilihan spesifikasi, pengadaan, komisioning peralatan teknologi baru sangat penting untuk strategi pengendalian dosis dan peralatan juga harus menyertakan perangkat proteksi yang memadai dan ada fitur pemantauan dosis pasien (CTDIvol atau DLP).

Apalagi peralatan teknologi baru tersebut adalah CT Scan bukan pesawat sinar-X radiologi konvensional biasa. Pada umumnya, perkembangan teknologi secara klinis maupun teknis tidak dibarengi dengan pengurangan dosis pasien untuk tiap pemeriksaan. Artinya, dengan perkembangan teknologi umumnya mengakibatkan peningkatan dosis pasien. Belum lagi tren yang ada sampai saat ini bahwa dunia praktek radiologi mengalami peningkatan dalam penggunaan CT, sehingga muncul peningkatan kekhawatiran akan besarnya dosis yang diterima dari pemeriksaan dan potensial risiko yang diakibatkannya.
Pemeriksaan pasien menggunakan CT biasanya mengalami pengulangan sehingga memberikan dosis pasien dapat melebihi batas ambang untuk efek deterministik. Oleh karena itu semua tindakan dengan CT harus memiliki dan dilakukan sesuai protokol/petunjuk pelaksanaan supaya proses optimisasi dosis pasien dapat dipenuhi dengan tidak mengurangi kualitas citra. Operator juga harus memiliki kompetensi untuk menyesuaikan faktor teknis penyinaran (kV, mAs, dll.) dengan anatomi pasien dan informasi diagnostik yang diinginkan.

Aspek keselamatan radiasi pada penggunaan CT dapat ditinjau dari segi keselamatan pasien dan staf. Tinjauan keselamatan pasien terhadap dosis radiasi yang diterima dianalisis sesuai dengan dosis yang diterima pasien yang diidentifikasi sebagai CTDI. Nilai estimasi CTDI untuk tiap pemeriksaan harus keluar di panel kontrol CT. Nilai CTDI ini selanjutnya dievaluasi dan dipertimbangkan keselarasannya dengan nilai tingkat panduan dosis pemeriksaan CT yang ada dalam peraturan dalam hal ini Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011.

Keselamatan staf yang menggunakan CT dipertimbangkan dalam 2 (dua) tinjauan. Yang pertama, sebagai pekerja radiasi yang memungkinkan menerima dosis radiasi sampai 20 mSv per tahun (0,4 mSv per minggu), kedua, sebagai anggota masyarakat yang maksimum menerima dosis 1 mSv per tahun (0,02 mSv per minggu).
Pertimbangan ini dikarenakan keberadaan staf sebagai pekerja radiasi (operator) dan staf biasa (perawat/pengantar pasien) sering ada di ruang konsul atau ruang operator CT ketika pemeriksaan pasien menggunakan CT dilakukan.

Salah satu pertimbangan keselamatan yang pertama kali dilakukan yaitu bagaimana mendisain ruang radiasi khususnya untuk CT Scan, sehingga dapat memberikan proteksi pada pekerja maupun staf dan anggoa manyarakat yang berada di sekitar ruang CT Scan.

Disain Ruang Radiasi untuk CT Scan
Disain shielding ruangan untuk CT tergantung pada distribusi isodosis. Distribusi isodosis ini biasanya sudah disediakan oleh pembuat atau pabrikan. Gambar 1 adalah sebuah isodosis untuk satu dari CT komersial. Kurva isodosis telah dinormalisasi ke dosis per scan (slice) dan serangkaian kurva telah di determinasi untuk sebuah body phantom. Plot hamburan (scatter) juga disediakan oleh pembuat untuk phantom kepala. Voltase tabung sinar-X (kV) dan arus (mA) diindikasikan di dalam gambar. Dalam beberapa bentuk kurva isodosis biasanya dinormalisasi ke dosis per mAs.

Gambar 1. Kurva Isodosis salah satu CT komersial

Perlu diketahui bahwa berkas sinar-X utama tidak dapat keluar dari CT scanner. Berkas utama hanya menabrak penghalang, apapun penghalangnya. Oleh karena itu, hanya radiasi yang "kesasar" (bocor dan terhambur) harus diperhitungkan untuk mendeterminasi shielding (use factor, U=1).
Parameter dalam menentukan disain ruang shielding CT sama dengan modalitas radiasi lainnya yaitu memerlukan informasi mengenai:
1. Beban kerja (W)
2. kV dan mA
3. faktor okupansi untuk tiap penghalang (T)
4. jenis daerah masing-masing penghalang (daerah pengendalian dan supervisi).

Menurut NCRP Report No. 147, metode perhitungan shielding ruangan CT ada 2 (dua) cara, yaitu:
1. metode DLP (Dose-Length Product)
2. metode kurva isodosis

1. Metode Dose-Length Product (DLP)
Pesawat CT scan mengalami perkembangan yang signifikan, untuk CT scan yang modern, pada monitor kontrol panel biasanya sudah ada informasi tentang DLP atau CTDIvol.


DLP = CTDIvol x L

Dengan L adalah panjang obyek yang discan:


L = NR x b

NR = total rotasi dan b = pergerakan pasien per rotasi gantry, sehingga Kerma Udara yang terhambur pada jarak 1 meter dapat didekati dengan persamaan:


K1sec (head) = khead x DLP
K1sec (body) = 1.2 x kbody x DLP

Dengan khead = 9 x 10-5 cm-1 dan kbody = 3 x 10-4 cm-1

Transmisi penghalang (B) dapat diperoleh dari persamaan:

B = P / K1sec

Dengan nilai P merupakan shielding design goal. Sesuai dengan NCRP No. 147 Tahun 2004, nilai P (dalam kerma udara) untuk daerah pengendalian sebesar 0,1 mGy per minggu (5 mGy per tahun), sedangkan untuk daerah supervisi sebesar 0,02 mGy per minggu atau 1 mGy per tahun).
Sedangkan sesuai dengan Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011, nilai P ditentukan dengan menggunakan Pasal 37, yaitu mengenai pembatas dosis (dose constraint) pada tahap desain bangunan fasilitas, dan nilainya ditetapkan:
a. 1/2 (satu per dua) dari Nilai Batas Dosis (NBD) per tahun untuk pekerja radiasi, yaitu sebesar 10 mSv (sepuluh milisievert) per tahun atau 0,2 mSv (nol koma dua milisievert) per minggu;
b. 1/2 (satu per dua) dari NBD per tahun untuk anggota masyarakat, yaitu sebesar 0,5 mSv (nol koma lima milisievert) per tahun atau 0,01 mSv (nol koma nol satu milisievert) per minggu.

Setelah diperoleh nilai B, maka dengan bantuan kurva pada Gambar 2 atau 3 berikut, maka dapat diketahui tebal penghalangnya.

Gambar 2. Transmisi pada timbal dari radiasi sekunder CT Scanner


Gambar 3. Transmisi pada beton dari radiasi sekunder CT Scanner


Pada kedua Gambar di atas, dengan menggunakan data transmisi maka nilai x (tebal dinding penahan) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

x = {1 / (α x γ)} x ln {(B + (β / α)) / (1 + (β / α))}

Contoh Perhitungan beban kerja:
asumsi:
CT Scan hanya didedikasikan untuk head dan body.
beban kerja pasien untuk head per minggu 20 prosedur/Pasien sedang untuk body ada 10 prosedur/pasien.
CTDIvol (head) pada pengukuran diperoleh 41 mGy dengan L = 20 cm.
DLP (head) pada pengukuran diperoleh 550 mGy.cm.
Perhitungan:
nilai DLP dikalikan dengan faktor 1,4 (asumsi bahwa proses scanning berulang sebesar 40%).
K1sec (head) = 9 x 10-5 cm-1 x (41 mGy x 20 cm x 1,4) = 0,103 mGy/prosedur.
K1sec (body) = 1.2 x 3 x 10-4 cm-1 x 550 mGy. cm x 1,4 = 0,277 mGy/prosedur.
Nilai Ksec = (0,103 mGy/prosedur x 20 prosedur/minggu) + (0,277 mGy/prosedur x 10 prosedur/minggu) = 4,83 mGy/minggu.

2. Metode Kurva Isodosis
Beban kerja dinyatakan dalam mAs per minggu atau jumlah scan (slice) per minggu. Kelompok kerja (Task Group) AAPM (American Association of Physicists in Medicine) #9 (Archer 1993) telah menyarankan beban kerja sebesar 2300 scan per minggu atau 12000 mA.menit per minggu untuk scanner CT yang dioperasikan dalam sebuah departemen radiologi diagnostik yang sibuk.

Sekarang ini, kecepatan akuisisi data untuk scanner CT telah ditingkatkan dengan penggunaan teknik scanning spiral. Pasien digerakkan dengan kecepatan yang uniform melalui scanner, sementara tabung sinar-X berputar mengitari pasien. Waktu scanning direduksi oleh faktor dari 4 sampai 8. Pada scanner konvensional, pasien bergerak dalam beberapa step dan tabung membuat rotasi penuh ke pasien untuk tiap slice-nya. Penggunaan Voltase tabung (kV) dan mA adalah sama untuk scan spiral maupun scan konvensional. Oleh karena itu, beban kerja akan berkurang untuk mode scanning spiral.

Dosis per minggu (D) pada suatu titik terlindungi tanpa penghalang diberikan sebagai berikut:

D = W x D0 x T

Dengan:
W= beban kerja dalam satuan jumlah scan per minggu atau mA.menit per minggu.
D0 = dosis per scan atau dosis per mA.menit yang ditentukan dari kurva isodosis.
T = Faktor okupansi

Transmisi penghalang (TR) yang diperlukan dapat dihitung sesuai dengan persamaan berikut:

TR = P / D

Dengan P merupakan tingkat proteksi atau shielding design goal.

Nilai Transmisi untuk CT yang dioperasikan pada kV tertentu dapat mengikuti persamaan berikut:

TR = Xs / X0
Xs = X0 x TR

Dengan, Xs = besarnya paparan radiasi, R per mA.menit pada 1 meter untuk penghalang dengan ketebalan s, dan X0 = besarnya paparan radiasi, R per mA.menit pada 1 meter untuk penghalang dengan ketebalan 0.

Satu catatan penting mengenai disain shielding untuk CT, yaitu: tidak direkomendasikan penggunaan beban kerja yang dinyatakan dalam mA.menit per minggu. Hal tersebut dikarenakan scanner yang multi-slice memerlukan total lebar slice 2 cm per rotasi hanya membutuhkan setengah (1/2) mA.menit per minggu-nya scanner yang single-slice untuk lebar slice 1 cm, namun kerma udara hamburannya akan mendekati sama.

Kesimpulan
  1. Beban kerja tiap institusi yang akan memasang CT Scan bebeda dengan institusi lainnya. Ini dapat memberikan perbedaan ketebalan penahan pada disain ruang radiasi.
  2. Beban kerja dapat berubah sesuai dengan waktu, sehingga perlu dilakukan evaluasi rutin keberadaan disasin ruangan ini untuk menjawab apak perlu perubahan jika beban kerja melebihi waku disain, atau dipertahankan sama karena beban kerja tidak melebihi batas asusmsi disain.
  3. Perlu diketahui bahwa berkas sinar-X utama tidak dapat keluar dari CT scanner. Berkas utama hanya menabrak penghalang, apapun penghalangnya. Oleh karena itu, hanya radiasi yang "kesasar" (bocor dan terhambur) harus diperhitungkan untuk mendeterminasi shielding sehingga penggunaan use factor nilainya 1, U = 1.
  4. Perhitungan di atas harus memperhitungkan faktor okupansi. Penggunaan faktor okupansi ini juga harus dievaluasi secara rutin, apakah masih ada kesesuaian atau tidak dengan waktu disain dibuat.


Pustaka
  1. Patton H. McGinley, “Shielding Techniques For Radiation Oncology Facilities”, 2nd Edition, Medical Physics Publishing, Madison, Wisconsin, 2002.
  2. National Council On Radiation Protection And Measurements (NCRP), “Structural Shielding Design for Medical X-Ray Imaging Facilities”, NCRP Report No. 147, Bethesda, 2004.
  3. Sal Martino, Jerry Reid, dan Teresa G. Odle, 2008, “Computed Tomography in the 21st Century: Changing Practice for Medical Imaging and Radiation Therapy Professionals”, The American Society of Radiologic Technologists (ASRT).
  4. ______, 2008, “Safety Guide for Diagnostic and Interventional Radiology”, Radiation Protection Series No. 14.1, Australian Radiation Protection and Nuclear Safety Agency (ARPANSA), Australia.
  5. ______, 2011, “Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar X Diagnostik dan Intervensional”, BAPETEN, Jakarta.
LihatTutupKomentar