ASPEK PENTING PELATIHAN PROTEKSI RADIASI DALAM RADIOLOGI INTERVENSIONAL

ABSTRAK

ASPEK PENTING PELATIHAN PROTEKSI RADIASI DALAM RADIOLOGI INTERVENSIONAL. Pelatihan proteksi radiasi dimaksudkan untuk memahami dan mempraktekkan aspek proteksi radiasi dalam radiologi intervensional. Pelatihan proteksi radiasi untuk pekerja harus merupakan bagian pendidikan integral bagi yang menggunakan teknik intervensional.
Kardiolog atau radiolog sebagai operator utama harus mengikuti program pelatihan proteksi radiasi sekurang-kurangnya selama 20-30 jam tentang radiologi intervensional. Sedangkan untuk pekerja yang membantu kardiolog atau radiolog disarankan mengikuti pelatihan sekurang-kurangnya selama 16 jam atau 2 hari berturut-turut. Lingkup pelatihan proteksi radiasi dalam radiologi intervensional meliputi: pelatihan dasar, pelatihan tambahan dan pelatihan lanjutan. Pelatihan proteksi radiasi berpengaruh terhadap dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiologi intervensional.
Sebagai kesimpulan, untuk mengembangkan sistem pengawasan bidang radiologi intervensional, pelatihan proteksi radiasi secara berkala disyaratkan bagi pekerja di radiologi intervensional.

Kata kunci : Radiologi intervensional, pelatihan proteksi radiasi, aspek penting pelatihan proteksi radiasi

I. PENDAHULUAN

Tindakan radiologi intervensional biasanya dilakukan oleh dokter spesialis jantung dan pembuluh darah atau yang sering disebut dengan kardiolog, dan dokter spesialis radiologi atau yang sering disebut radiolog. Selain itu juga dibantu oleh asisten dokter yang biasa disebut scrub. Scrub biasanya adalah perawat, dokter residen, ataupun dokter spesialis lain yang terlibat dalam tindakan. Dokter, baik kardiolog maupun radiolog yang melakukan tindakan intervensional mempunyai risiko radiasi yang besar dibandingkan dokter spesialis lainnya. Begitu pula dengan asisten dokter yang ikut terlibat dalam tindakan intervensional. Oleh karena itu berbagai macam cara dilakukan untuk membantu mereduksi paparan radiasi yang diterimanya.

Seperti yang kita ketahui bahwa dosis pekerja dalam tindakan intervensional yang dipandu dengan fluoroskopi itu lebih besar dibandingkan dengan fluoroskopi atau radiologi diagnostik biasa. Hal ini disebabkan karena selain menggunakan fluoroskopi untuk panduan langsung tindakan tetapi juga menggunakan sine fluorografi untuk merekam hasil tindakan, merekam identitas pasien, dan untuk evaluasi tindakan berikutnya. Waktu fluoroskopi total yang digunakan per tindakan pun beragam, mulai dari 1 menit hingga 50 menit, dan jumlah rekaman sine fluorografi yang diambil juga lebih dari sekali.

Tingkat paparan radiasi di sekitar pasien dapat menjadi lebih tinggi pada kondisi kerja normal, hal ini jika alat proteksi dan alat ukur radiasi tidak digunakan, dan jika banyak tindakan yang komplek yang dilakukan per harinya. Untuk itu kemungkinan munculnya risiko radiasi juga sangat besar, seperti gangguan pada lensa mata dapat terjadi setelah beberapa tahun bekerja.
Sistem sinar-X yang digunakan dalam radiologi intervensional biasanya sudah didisain khusus untuk melakukan tindakan intervensional termasuk kondisi keselamatan radiasinya. IEC (International Electrotechnical Commission) telah mengeluarkan standar baru yang berhubungan dengan keselamatan sistem sinar-X yang digunakan dalam radiologi intervensional [1].

Meskipun sistem sinar-X radiologi intervensional sekarang ini semakin canggih dan produsen pesawat sinar-X telah memasukkan banyak fitur teknis untuk mengurangi dosis radiasi namun apabila kardiolog/radiolog dan asistennya tidak mengetahui dan memahami serta mempraktekkan aspek proteksi radiasi maka kardiolog/radiolog dan asistennya tidak akan memperoleh manfaat yang lebih baik. Untuk itu pelatihan proteksi radiasi merupakan kunci utamanya.

Komisi Eropa telah mengeluarkan panduan khusus tentang pentingnya pelatihan proteksi radiasi untuk tindakan intervensional. Komisi Eropa juga menerbitkan akreditasi pelatihan khusus untuk radiologi intervensional. Berdasarkan panduan tersebut, para kardiolog/radiolog diharuskan mengikuti program pelatihan proteksi radiasi paling tidak selama 20 – 30 jam tentang radiologi intervensional. Sedangkan untuk pekerja yang membantu kardiolog/radiolog disarankan mengikuti pelatihan sekurang-kurangnya selama 16 jam atau 2 hari berturut-turut. Begitu pula publikasi ICRP No. 85 menyatakan bahwa "pelatihan proteksi radiasi untuk pekerja harus merupakan suatu bagian pendidikan yang integral untuk pengguna teknik intervensional" [1].

Sesuai dengan paragraf sebelumnya menyatakan bahwa pekerja radiologi intervensional berpotensi menerima dosis efektif dan dosis ekivalen tahunan yang dapat melebihi NBD, hal ini dapat memperbesar kemungkinan munculnya efek stokastik dan deterministik. Potensi penerimaan dosis yang tinggi tersebut dapat terjadi bila:
1. Beban kerja pekerja radiologi intervensional tinggi.
Hasil survei Tahun 2006 menunjukkan bahwa dosis efektif rata-rata per tindakan untuk pekerja radiologi intervensional adalah 86,28 – 174,72 µSv. Apabila NBD BSS-115 sebesar 20 mSv per tahun diterapkan maka beban kerja maksimal agar NBD tidak terlampaui adalah sekitar 114 – 232 tindakan dalam satu tahun. Sedangkan berdasarkan hasil survei, perkiraan beban kerja rata-rata dalam satu tahun sebesar 200 – 898 tindakan [2].
Sesuai dengan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa beban kerja pekerja radiologi intervensional termasuk tinggi. Seiring dengan tingginya beban kerja maka seharusnya ditunjang dengan penerapan prinsip proteksi radiasi yang memadai dalam melakukan tindakan radiologi intervensional.

2. Pekerja tidak memperhatikan prinsip proteksi radiasi selama tindakan berlangsung.
Hasil survai menunjukkan bahwa pekerja dalam melakukan tindakan radiologi intervensional hanya menggunakan alat pelindung diri berupa apron dan pelindung tiroid. Kaca mata Pb hanya dipakai oleh 1 (satu) kardiolog dan 2 (dua) perawat. Sedangkan tabir Pb hanya digunakan pada 4 rumah sakit dan sarung tangan tidak pernah dipakai [2].
Sesuai dengan hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan peralatan proteksi yang ada masih kurang optimal dan biasanya hanya dikarenakan suatu alasan non-teknis seperti mengganggu dalam kerja atau kurang praktis. Alasan tersebut menjadi lebih penting dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari penggunaan alat proteksi.

3. Sistem pesawat sinar-X tidak dilengkapi dengan peralatan proteksi.
Hasil survei menunjukkan bahwa dari 17 pesawat sinar-X angiografi hanya terdapat 3 (tiga) pesawat sinar-X tidak dilengkapi dengan tabir kaca Pb yang menggantung, dan tirai Pb yang ada di samping meja pasien [2].

II. LINGKUP PELATIHAN PROTEKSI RADIASI

Berdasarkan publikasi Komisi Eropa dalam Radiation Protection No. 119 (RP-119) menyatakan bahwa lingkup pelatihan proteksi radiasi dalam radiologi intervensional itu meliputi [3]:
1. pelatihan dasar
Meliputi fisika radiasi, efek biologi radiasi, aspek penting proteksi radiasi, satuan dan besaran radiasi, dan peralatan dasar radiologi intervensional.
2. pelatihan tambahan
Meliputi dosimetri radiasi, konsep dasar proteksi radiasi, dan peralatan radiologi intervensional tambahan.
3. pelatihan lanjutan
Meliputi klasifikasi tindakan radiologi intervensional, regulasi tentang radiologi intervensional, efek genetik radiasi, teknologi sinar-X radiologi intervensional, proteksi radiasi lanjutan.

Pelatihan proteksi radiasi seperti yang tercantun dalam RP-119 ditujukan untuk [3]:
1. kardiolog;
2. radiolog;
3. dokter spesialis yang bersangkutan;
4. radiografer; dan
5. asisten dokter/perawat.

Secara umum personil yang ikut pelatihan proteksi radiasi adalah yang berkompeten dan terlibat dalam tindakan radiologi intervensional.

Hasil pelatihan yang diinginkan adalah tercapainya tujuan pelatihan proteksi radiasi yaitu mengetahui, memahami dan mempraktekkan aspek proteksi radiasi dalam radiologi intervensional sehingga akan memperoleh manfaat yang lebih baik. Pelatihan dan pengalaman dalam radiologi intervensional merupakan dasar untuk mereduksi dosis untuk pasien dan pekerja. Banyak kasus, apabila pengalaman dan keahlian dokter rendah maka dosis yang diterimanya pun rendah karena jarang menangani pasien. Namun, seiring tingginya pengalaman dan pengetahuan dokter maka beban kerjanya pun besar dalam menangani pasien dan konsekuensinya dosis radiasi yang diterima juga besar [4].

Pelatihan pekerja dalam keahliannya dan dalam masalah proteksi radiasi berpengaruh terhadap dosis pekerja dan pasien. Secara luas telah diketahui bahwa pelatihan pekerja yang menjadi koordinator dan yang mengoperasikan instalasi medis merupakan faktor utama untuk berhasilnya program optimisasi dan kendali mutu pada proteksi radiasi. ICRP dan WHO setuju bahwa pelatihan yang cukup dalam proteksi radiasi bagi profesional yang terlibat dalam radiologi diagnostik merupakan langkah awal dalam program optimisasi.

Demikian juga, beberapa negara dan organisasi telah mengembangkan kegiatan yang berbeda dan dokumen yang mengatur tentang pelatihan, paling tidak dalam hal yang umum, misalnya [3]:

  1. Dokumen dari Nuclear Regulatory Commission (NRC) Amerika Serikat, “Radiation Protection Training for Personnel Employed in Medical Facilities”, NUREG-1134, 1985;
  2. Dokumen American Association of Physicists in Medicine (AAPM) Amerika Serikat, “Essentials and Guidelines for Hospital based Physics Residency Training Programs”, AAPM Report No. 36, 1992;
  3. Dokumen AAPM dan American College of Radiology (ACR) Amerika Serikat, “Syllabus and Problems in Physics for Radiology Residents”, 1980;
  4. Dokumen International Society of Radiologic Technologists (ISRT) Inggris, “Simple Experiments for Teaching Dosimetry to Students of Diagnostic Radiography”, 1989;
  5. Dokumen World Health Organisation (WHO), “Manual on Radiation Protection in Hospitals and General Practice”, 1976;
  6. Dokumen Komisi Eropa, “Specific educational objectives in Radiological Protection and Quality Assurance for diagnostic radiology installation personnel”, 1993;
  7. Dokumen Komisi Eropa, “Guidelines on education and training in radiation protection for medical exposures”, Radiation Protection 116, 2000;
  8. Dokumen WHO, “Efficacy and radiation safety in interventional radiology”, 2000; dan
  9. Dokumen Radiation Management Partnership (RMP) Amerika Serikat, “Minimising risks from fluoroscopic X-rays”, Edisi 3, 2000.

Berdasarkan dokumen WHO, “Efficacy and radiation safety in interventional radiology”, 2000, kesimpulan tentang pendidikan dan pelatihan proteksi radiasi adalah [3]:
  1. Pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk dokter, radiografer, perawat, dokter spesialis, teknisi, dan personil kesehatan lainnya yang terlibat dalam radiologi intervensional merupakan hal yang penting dan sebagai aspek dasar proses optimisasi secara keseluruhan;
  2. Diklat dalam aspek medis radiologi intervensional dan dalam proteksi radiasi harus dilakukan dalam 2 (dua) tingkatan yaitu dasar dan khusus;
  3. Pelatihan proteksi radiasi harus mempertimbangkan pasien demikian juga paparan pada pekerja;
  4. Instalasi sistem baru, adanya pekerja baru, adanya teknik baru harus didahului dengan pelatihan khusus;
  5. Harus dipertimbangkan adanya pelatihan yang berkelanjutan (penyegaran) dalam hal aspek proteksi radiasi;
  6. Tingkat pelatihan dalam topik yang bervariasi harus dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan kelompok profesional yang dilatih;
  7. Pelatihan harus diberikan oleh orang yang berkualifikasi dalam institusi yang terakreditasi;
  8. Pelatihan harus dievaluasi dan diakreditasi berdasarkan pada individu;
  9. Pelatihan harus mencakup aspek teoritis maupun praktis; dan
  10. Perlu dipertimbangkan perluasan materi untuk pelatihan khusus dalam radiologi intervensional.

III. PENGARUH PELATIHAN PROTEKSI RADIASI

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di luar negeri selama 15 tahun terakhir yaitu mulai tahun 1989 – 2004 [5] memperlihatkan pengaruh nyata dari pelatihan proteksi radiasi terhadap dosis yang diterima oleh pekerja. Kajian tersebut berawal dari besarnya dosis radiasi yang diterima oleh kardiolog dalam setiap tindakan karena bekerja dekat dengan sumber radiasi dan didukung fakta tentang beban kerja yang sangat besar.

Rentang kajian selama 15 tahun tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu:
1. Periode I Tahun 1989 – 1992: investigasi dosis radiasi untuk pekerja dan implementasi suatu bentuk program proteksi radiasi.

Tabel 1 menunjukkan hasil investigasi selama periode I yaitu dosis ekivalen pekerja ada pada rentang 100 – 300 mSv/bulan, tetapi pada salah satu kasus kardiolog menerima dosis ekivalen sebesar 1600 mSv/bulan yang berasal dari dosimeter yang dipasang pada lengan kiri. Dosis dibalik apron ada pada rentang 5 – 11 mSv/bulan.

Sesuai dengan hasil investigasi bahwa dosis yang diterima pekerja besar bahkan melebihi NBD untuk dosis ekivalen maka dilakukan evaluasi kondisi proteksi radiasi di laboratorium kateterisasi. Setelah kondisi tidak normal dapat diinvestigasi kemudian ditindaklanjuti dengan mengistirahatkan atau menonaktifkan pekerja beberapa bulan. Laporan situasi tersebut dilaporkan kepada Badan Pengawas negara yang bersangkutan. Penyakit lensa mata dapat muncul dalam situasi seperti itu jika tindakan koreksi tidak segera diambil.

Analisis yang dapat dilakukan pada periode ini adalah pekerja belum menerapkan budaya keselamatan kerja dengan radiasi, seperti:
a. tidak adanya tabir kaca Pb pada pesawat sinar-X atau sudah ada tetapi tidak digunakan;
b. menggunakan fluoroskopi dosis tinggi; dan
c. menggunakan sine film dengan kecepatan 25 frame per detik.

2. Periode II Tahun 1993 – 1998: konsolidasi program proteksi radiasi


Pada periode ini dilakukan pelatihan dan seminar tentang proteksi radiasi, pemasangan peralatan sinar-X angiografi jenis baru, dan penerapan program jaminan mutu dan langkah-langkah untuk mereduksi dosis pekerja dan pasien.
Selama program tersebut berjalan dilakukan pengukuran dosis pekerja. Dosis ekivalen bulanan untuk dosimeter diluar apron yang terukur adalah 7 – 10 mSv. Dosis dibalik apron tahunan tertinggi adalah 2 mSv dan 3 mSv.

3. Periode III Tahun 1999 – 2004: implementasi proteksi radiasi untuk pekerja dalam program jaminan mutu.

Selama periode ini, frekuensi program jaminan mutu untuk pesawat sinar-X yang dilakukan setahun sekali ditingkatkan menjadi 2 (dua) atau 3 (tiga) kali dalam setahun. Dosis ekivalen maksimum diluar apron selama periode ini sudah rendah dari pada periode II yaitu 3 mSv/bulan dan 4 mSv/bulan. Dosis maksimum dibalik apron mempunyai rata-rata 2 mSv/bulan.

Beban kerja kardiolog selama 3 (tiga) periode sama yaitu 5 – 6 tindakan per hari, dan dibagi untuk 1 – 3 kardiolog.
Kardiolog yunior diperbolehkan menangani banyak tindakan per harinya sekitar 3 – 6 tindakan per hari, hal ini untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilannya.
Asisten kardiolog (perawat dan residen) diperbolehkan menangani pasien 2 – 4 tindakan per hari.

Tabel 2 menunjukkan dosis bulanan sebelum, selama, dan setelah pelatihan proteksi radiasi. Rata-rata dan median dosis menurun secara signifikan setelah pelatihan.

Dengan menggunakan uji statistik perbandingan rata-rata T-Test menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara dosis rata-rata sebelum dan setelah pelatihan.
Berdasarkan pengalaman kajian yang dilakukan di luar negeri tersebut maka dapat diketahui bahwa pelatihan proteksi radiasi pada pekerja radiologi intervensional sangat penting. Karena kenyataannya meskipun peralatan pesawat sinar-X yang baru sudah didisain memberikan dosis masuk ke pasien kecil sehingga hamburannya terhadap pekerja juga kecil, tetapi apabila pekerja tidak mengetahui, memahami ataupun melaksanakan prinsip proteksi radiasi yang dapat diperoleh dari pelatihan, maka pekerja berpotensi menerima dosis radiasi yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

Dengan mempertimbangkan aspek penting dan lingkup dari pelatihan proteksi radiasi untuk pekerja radiologi intervensional, gambaran tentang pengaruh program pelatihan proteksi radiasi dengan mengambil pengalaman yang terjadi di luar negeri, dan hasil survai Tahun 2006 yang menunjukkan bahwa semua pekerja yang terlibat dalam tindakan belum pernah mengikuti pelatihan proteksi radiasi di bidang radiologi intervensional, dan hasil pembahasan sebelumnya menyatakan bahwa pekerja radiologi intervensional berpotensi menerima dosis efektif dan dosis ekivalen tahunan yang dapat melebihi NBD, maka pelatihan proteksi radiasi di bidang radiologi intervensional sangat diperlukan oleh pekerja yang akan dan selama bekerja di radiologi intervensional.
Oleh karena itu untuk pengembangan sistem pengawasan bidang radiologi intervensional, pelatihan proteksi radiasi secara berkala harus menjadi salah satu persyaratan pekerja yang akan dan selama bekerja di radiologi intervensional.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Vano, E., “Radiation Exposure to Cardiologists: how it could be reduced”, Heart Journal 2003 Vol. 89, BMJ Publishing Group & British Cardiac Society.
  2. Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (P2STPFRZR), “Pengkajian Sistem Pengawasan Tentang Proteksi Radiasi di Fasilitas Radiologi Intervensional”, Laporan Hasil Kajian (LHK), 2006.
  3. European Commission, “MARTIR (Multimedia and Audiovisual Radiation Protection Training in Interventional Radiology)”, CD-ROM, Radiation Protection 119,.European Commission Directorate General Environment, Nuclear Safety and Civil Protection. Luxembourg, 2002.
  4. Sukma, F., “Dosis Radiasi Anggota Tim Radiologi Intervensional Hepatoma”, Skripsi S-1, Departemen Fisika FMIPA, Universitas Indonesia, 2004.
  5. Vano, E., Gonzalez, L., Fernandez, J.M., Alfonso, F., Macaya, C., “Occupational Radiation Doses in Interventional Cardiology: a 15-year follow-up”, The British Journal of Radiology No. 79 Hal.383 – 388, 2006.

TANYA JAWAB

Pertanyaan :
Dari penelitian yang saudara lakukan adalah studi komparatif sehingga dapat menyimpulkan bahwa pelatihan proteksi radiasi itu penting bagi pengguna radiologi intervensional?

Jawab :
Dari berbagai literatur yang telah dikaji menunjukan bahwa besarnya dosis yang diterima oleh pekerja radiologi intervensional disebabkan karena pekerja kurang mengetahui dan memahami bagaimana :
1. Cara bekerja dengan radiasi, mencangkup penerapan prinsip proteksi radiasi.
2. Manfaat dan kerugian dari radiasi.
3. Meminimalkan paparan yang diterima.
4. Memahami tentang sistem operasi, mencangkup implikasi paparan radiasi dari tiap mode operasi.

Selain itu, sebagian besar pekerja radiologi intervensional belum pernah mengikuti pelatihan proteksi radiasi dalam bidang pekerjaan yang ditekuninya. Setelah ada program proteksi radiasi yang didalamnya termasuk program pelatihan maka dosis yang diterima pekerja radiologi intervensional dapat direduksi secara signifikan.
Dari hasil kajian yang dilakukan Tahun 2006 menunjukan fakta tersebut diatas. Untuk itu selayaknya bagi pekerja radiologi intervensional yang akan dan selama bekerja dalam bidang tersebut dipersyaratkan telah lulus pelatihan proteksi radiasi dalam bidang radiologi intervensional.

Demikian, semoga bermanfaat...
bagi para penyelenggara pendidikan dan pelatihan... ini adalah peluang... silakan dimanfaatkan untuk kemajuan bersama.

LihatTutupKomentar