Radiologi Intervensional (Interventional Radiology) (2)

Bulan ini, saya kembali dapat kesempatan untuk memperhatikan salah satu tindakan radiologi intervensional. Terakhir saya dapat kesempatan tersebut adalah Tahun 2006. Tindakan kali ini adalah DSA cerebral yang dilakukan oleh dokter spesialis radiologi dan para residen sebagai asistennya.

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai apa itu radiologi intervensional. Ya, dalam radiologi intervensional itu menggunakan sinar-X untuk memandu secara langsung (real time) jalannya tindakan. Pesawat sinar-X yang digunakan namanya angiografi. makanya tindakan umum pada angiografi namanya DSA (Digital Subtraction Angiography).

Tindakan radiologi intervensional dilakukan dengan memasukkan sebuah kawat kateter ke dalam pembuluh darah arteri, makanya sering disebut dengan tindakan kateterisasi. Bahkan ruang angiografi sering disebut dengan cathlab (Catheterization laboratory).

Tindakan radiologi intervensional biasanya dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensi (Sp. Rad (k) I) dan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (Sp. JP), dibantu oleh asistennya. Yang termasuk asisten tersebut dapat berupa dokter residen dan perawat. Jarang sekali ditemui radiografer di kegiatan radiologi intervensional ini.

ada fenomena menarik, IAEA sekarang mengeluarkan terminologi baru untuk menggantikan istilah radiologi intervensional, yaitu fluoroskopi intervensional dan kardiologi intervensional. Penggantian terminologi tersebut, apakah memiliki keterkaitan antara pelaksana tindakan radiologi intervensional dan organisasi yang menaunginya? Silakan di ulas dan dilakukan kajian lebih mendalam…

kembali ke topik radiologi intervensional. Apa yang menarik dari tindakan tersebut? Ya, seperti dijelaskan sebelumnya, tindakan tersebut menggunakan sinar-X. Bukan hanya itu, tindakan tersebut juga membutuhkan kehadiran dokter atau personil yang berada dekat dengan pasien dan sinar-X-nya.

Sudah tertangkap, kenapa menarik bukan?, dapat dibayangkan berapa dosis radiasi yang diterima oleh pasien dan personil yang terlibat dalam tindakan dan berada di dalam ruang cathlab selama melakukan tindakan.

Sebagai gambaran, tindakan cathlab membutuhkan 2 (dua) mode dalam pengoperasian pesawat angiografi yaitu mode fluoroskopi dan mode cinegrafi.

1. Mode fluoroskopi

Pada dasarnya fluoroskopi digunakan untuk studi dan deteksi dari pergerakan bagian tubuh selama tindakan invasif dengan memposisikan bagian tubuh secara optimal agar didapatkan citra yang lebih baik. Peralatan utama pesawat sinar-X fluoroskopi terdiri dari generator dan tabung sinar-X, panel kontrol, penguat citra (Image Intensifier), dan monitor citra.

Pada tindakan intervensional, fluoroskopi digunakan untuk memantau pergerakan dan posisi kateter yang masuk pada pembuluh darah menuju lokasi pengamatan secara langsung (real time). Misal, tindakan DSA Cerebral, tujuan kateter ke pembuluh darah otak.

Beberapa hal yang mempengaruhi dosis radiasi pada pasien dan personil pelaksana tindakan dengan mode fluoroskopi:

a. Tegangan tabung (kVp): ini menentukan daya tembus dari berkas sinar-X dan radiasi yang keluar sama dengan kVp. Normal kVp adalah sekitar 70 sampai 80 kVp, tetapi kemungkinan dapat meningkat untuk pasien yang lebih gemuk. Pasien yang kurus dan anak kecil akan membutuhkan pengaturan kVp yang lebih rendah. Kontras citra akan bertambah besar pada kVp yang lebih rendah tetapi dosis pasien akan meningkat. Jika Automatic Brightness Control (kontrol cahaya otomatis) digunakan, kVp dikontrol secara otomatis.

b. Kuat arus tabung (mA): kuat arus tabung adalah jumlah dari emisi radiasi per detik. Peningkatan dari produksi arus seimbang dengan peningkatan radiasi yang keluar, paparan pasien, dan brightness citra. Jika kualitas citra pada monitor TV kurang bagus untuk pasien yang kurus, ini dapat diperbaiki dengan meningkatkan mA. Untuk pasien yang lebih kurus lebih disukai dengan peningkatan kVp, akibatnya akan meningkatkan radiasi yang keluar sehingga membutuhkan pengurangan mA. Untuk pasien yang sangat kurus maka membutuhkan pengaturan peningkatan kVp dan mA.

c. Waktu penyinaran: lamanya waktu penyinaran memerlukan kontrol yang tepat. Operator harus perhatian terhadap lamanya waktu pasien dipapari radiasi. Meskipun tergantung pada sejumlah faktor, pasien menerima laju dosis masuk kulit pada 75 kVp dan 1 mA adalah 10 mGy/menit, dan 50 mGy/menit pada 90 kVp dan 3 mA. Waktu penyinaran dan paparan radiasi dapat dikurangi dengan penyinaran yang sedikit mungkin dengan radiasi yang sekecil mungkin dan menggunakan fasilitas perekam citra untuk pemeriksaan citra yang lebih detil.

d. Kolimasi berkas sinar-X: pengurangan dosis yang besar dari pasien dan pekerja dapat dicapai dengan menggunakan kolimator untuk mengatur ukuran berkas sinar-X. Ukuran berkas harus disesuaikan dengan kebutuhan visualisasi anatomi. Bila visualisasi yang dibutuhkan kecil maka ukuran berkas kolimatornya juga kecil. Kualitas citra dapat ditingkatkan dengan mengurangi sejumlah besar hamburan radiasi dari luar bagian yang dituju sampai ke penguat citra. Biasanya diameter penguat citra yang digunakan kecil (sekitar 30 cm). Namun, tidaklah tepat mengkolimasi daerah menjadi lebih kecil.

e. Geometri: pasien harus diletakkan pada posisi yang sedekat mungkin dengan penguat citra, begitu juga jarak pasien dengan tabung sinar-X. Keuntungannya adalah pengurangan dosis masuk kulit untuk pasien, dan magnifikasi dan distorsi geometri rendah. Ketebalan pasien juga mempengaruhi dosis. Laju dosis dan dosis akumulasi akan lebih besar untuk pasien yang lebih besar dan bagian tubuh yang tebal. Pasien yang lebih besar membutuhkan radiasi sampai 10 kali lipat untuk kualitas citra yang lebih bagus dibandingkan dengan pasien yang lebih kurus.

f. Hamburan radiasi: merupakan bagian dari berkas sinar-X terhambur dari pasien dan dapat mencapai operator, pada umumnya semakin banyak radiasi yang diterima pasien maka semakin banyak pula radiasi yang diterima oleh operator. Hamburan berkurang dengan cepat sebagaimana jarak dari pasien yang meningkat. Hal ini sangat penting untuk dicatat bahwa tingkat tertinggi dari hamburan datang dari sisi pasien yang berhadapan dengan tabung sinar-X, dimana intensitas berkas sinar-X terbesar, dan terdapat hamburan yang kecil dari sisi pasien yang berhadapan dengan penguat citra. Tabung sinar-X secara ideal berada di bawah pasien.

2. Mode sinegrafi atau sine fluorografi

Unit fluoroskopi biasanya memiliki perekam citra atau fluorografi. Perekam citra tersebut dapat berupa citra digital yang menggunakan film diam (spot film) atau citra gerak (sine). Selama fluoroskopi normal menggunakan sinar-X tingkat rendah dan dosis yang dihasilkannya pun relatif rendah, sedangkan selama sine membutuhkan sinar-X tingkat tinggi dan dosis yang dihasilkannya pun besar. Laju dosis yang dihasilkan selama sine biasanya 10 – 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fluoroskopi biasa.

Pemeriksaan dengan sistem sine fluorografi telah dikembangkan dengan luas untuk pemeriksaan pembuluh darah yang membutuhkan suatu dokumen yang berisi fungsi dinamik fisiologi seperti hati dan aliran darah. Walaupun berguna untuk peralatan diagnostik, tapi pemeriksaan sine mempunyai potensial yang tinggi untuk meningkatkan paparan radiasi kepada pasien dan pekerja yang melakukan tindakan.

Alasan dasar besarnya paparan radiasi saat sine karena pemeriksaan memerlukan beberapa kali rekaman citra berkualitas baik. Hal ini diperoleh dengan memberi paparan yang besar pada pasien. Faktor yang memberi kontribusi paparan radiasi tinggi pada pekerja adalah adanya kesulitan untuk melindungi pekerja dari radiasi hambur karena proyeksi sinar-X yang berubah-ubah.

Kebanyakan dari komponen sine fluorografi seperti tabung sinar-X, tabung penguat citra, dan catu daya yang mempunyai kesamaan dengan komponen pada sistem fluoroskopi konvensional, satu hal yang berbeda adalah kapasitas penyimpanan panas yang tinggi pada tabung sinar-X. Komponen lain yang tidak ditemukan dalam sistem fluoroskopi konvensional adalah kamera sine.

Sine fluorografi biasanya digunakan untuk merekam pergerakan zat kontras yang dimasukkan ke pembuluh darah untuk mendiagnosis gejala penyakit yang diderita pasien, seperti informasi lokasi dan jumlah penyempitan pembuluh darah. Sine digital biasanya menyediakan kamera dengan kecepatan operasi sampai 90 frame per detik (90 fps). Namun, kecepatan operasi yang sering ada pada alat sine digital adalah 15, 25, 30, 60, dan 90 fps. Laju frame yang tinggi biasanya digunakan dalam kardiografi, khususnya untuk pencitraan pediatrik. Waktu paparan yang diperlukan berorde 5 milidetik (5 ms).

Pada kondisi fluoroskopi normal biasanya paparan radiasi yang diperlukan untuk mencapai penguat citra adalah 30 µR per detik dan pada saat sine diperlukan sekitar 20 µR per frame. Jadi apabila alat disetting 30 fps maka radiasi meningkat hingga 20 kali.

Sistem sinar-X yang menghasilkan laju paparan radiasi tinggi tersebut memerlukan generator sinar-X dengan kapasitas tenaga besar dan tabung dengan kapasitas panas yang besar, sehingga membuat sistem ini menjadi mahal.

Salah satu keuntungan perekaman digital adalah jumlah data yang volumenya kecil. Tindakan pemeriksaan kateterisasi untuk orang dewasa biasanya memerlukan perekaman 5 - 10 kali dengan waktu 6 - 7 detik dengan setting 30 fps. Dengan demikian setiap pasien memiliki citra sebanyak 2000 atau lebih. Citra yang terekam dari sistem sine biasanya memiliki resolusi citra minimum dengan matriks 512 x 512 dan besarnya pixel adalah 1 - 1,5 bytes (8 - 12 bits).

Sesuai data tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap perekaman memerlukan 0,25 - 0,39 MB, dan setiap tindakan memerlukan 500 - 750 MB data. Ketika resolusi citra ditingkatkan menjadi matriks 1024 x 1024 mengakibatkan kerugian yaitu peningkatan jumlah titik berwarna dan/atau dosis radiasi pasien akan besar seiring dengan besarnya jumlah citra dan laju data. Data yang diperoleh untuk resolusi 512 x 512 adalah 7,5 - 12 MB per detik sama dengan 60 - 90 MHz, sedangkan untuk resolusi 1024 x 1024, laju data akan menjadi 4 kali lebih besar dari resolusi 512 x 512. Penggunaan resolusi 1024 x 1024 biasanya untuk laju frame perekaman yang rendah.

Dari uraian di atas dapat diketahui sumber dari dosis radiasi yang diterima oleh pasien dan personil yang melakukan tindakan intervensional. Besarnya dosis radiasi yang diterima merupakan gabungan dari dosis mode fluoroskopi dan dari mode sine fluorografi.

Kembali ke pengalaman Bulan ini, memperhatikan contoh kasus tindakan intervensional yang dilakukan oleh seorang dokter spesialis radiologi dibantu oleh beberapa asistennya yang semuanya statusnya residen radiologi, bayangan saya teringat 7 (tujuh) Tahun yang lalu dan memunculkan kesimpulan: belum ada perubahan yang signifikan. semoga hanya kesimpulan sementara dan salah.
Perubahan hanya terjadi pada regenerasi saja, yang tua tergantikan dengan yang muda. Namun prosedur, sistem dan pola proteksi dan keselamatan radiasi masih sama seperti masa lalu. Yaitu:


  1. Fasilitas radiologi intervensional mayoritas ada di instalasi jantung dan tidak ada kerjasama dengan Instalasi Radiologi, misal dalam hal organisasi proteksi radiasi. Sehingga efeknya adalah pesawat sinar-X yang digunakan tidak ada izin pemanfaatannya dari BAPETEN. Jadi ada permasalahan mengenai organisasi proteksi radiasi di instalasi tersebut.
  2. Jumlah pekerja yang terlibat dalam setiap tindakan antara 3 - 5 orang.
  3. Semua pekerja yang terlibat dalam tindakan belum mengikuti pelatihan proteksi radiasi di bidang radiologi intervensional.
  4. Hanya dokter spesialis radiologi yang memiliki dan memakai Film/TLD badge, asistennya tidak menggunakan film/TLD badge. Karena di instalasi radiologi, dokter spesialis radiologi terdaftar sebagai pekerja radiasi.
  5. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah tidak menggunakan film/TLD Badge.
  6. Asisten dokter yang membantu pelaksanaan tindakan intervensi adalah dokter residen dan perawat. Jarang dijumpai ada radiografer yang membantu mengoperasikan pesawat sinar-X.
  7. peralatan proteksi radiasi yang digunakan pekerja hanya apron dan pelindung tiroid, kalaupun ada kaca mata Pb itupun jarang digunakan.
  8. Saat tindakan, tabir kaca Pb yang menggantung untuk melindungi bagian atas personil dari hamburan radiasi tidak digunakan.
  9. Pada log book hanya terdapat data pasien, jenis tindakan dan dokter yang menangani tindakan tersebut tetapi tidak mencantumkan waktu total fluoroskopi dan sine per tindakan, dosis kumulatif, dan DAP.

Kemudian, mengenai perkiraan berapa dosis yang diterima oleh pasien. Di komputer konsul sebenarnya sudah tercantumkan informasi tentang hal tersebut. sebagaimana terekam dari catatan saya, saat mengamati 2 tindakan DSA cerebral.

Hasil pencatatan lamanya tindakan dan besarnya dosis yang terekam di panel kontrol (monitor konsul) :
a. Lama tindakan 47 – 48 menit
b. Cumulative Dose 685 – 931 mGy
c. Dose Area Product (DAP) 129 – 166 Gy.cm2
d. Focus Distance (FD) 31 cm
e. Image Intensifier – Focus Distance 90 – 119 cm

Istilah cumulative dose atau juga biasa disebut dose entrance merupakan jumlah akumulasi dosis karena mode fluoroskopi dan mode sine fluorografi.
Cumulative dose merupakan kerma udara yang diukur pada jarak 15 cm dari isosenter ke arah fokus. Titik itulah yang dalam IEC standard 60601–2–43 disebut sebagai IRP (interventional reference point).
Perkiraan dosis pasien dapat diketahui dengan menghitung PSD (Peak Skin Dose) dari cumulative dose tersebut. cara yang paling mudah adalah dengan inverse square law. Atau di referensi penelitian-penelitian lain menggunakan software siemens ceregraph.

Dose area product (DAP) merupakan indikator risiko radiasi yang bagus untuk pasien, karena tidak hanya mengetahui besarnya dosis serap yang diterima pasien selama pemeriksaan namun juga menunjukkan luasan daerah yang teriradiasi.
DAP didefinisikan sebagai integral dosis dari berkas sinar-X selama penyinaran. DAP mudah untuk diukur. Metode yang sederhana yaitu dengan menempatkan DAP meter pada berkas radiasi antara kolimator dengan pasien, biasanya nempel pada ujung kolimator. DAP juga dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagaimana persamaan berikut:



Dengan DAP = dose area product (mGy.cm2), L = beban tabung (mAs), D0 = keluaran radiasi yang dinormalisasi dalam mGy/mAs pada jarak 1 meter, FSD = Focus Skin Distance, dan A = luasan berkas radiasi pada permukaan kulit (cm2).
D0 dapat diketahui dari grafik keluaran radiasi (atau dapat dibaca lagi pada bagian ini).

Data DAP diakulumasi selama fluoroskopi dan fluorografi (sine). Nilai yang tercatat menunjukkan batas maksimum dosis yang diserap oleh pasien tanpa adanya transmisi dan hamburan. Dari nilai DAP yang diperoleh, untuk menghitung dosis efektif yang diterima oleh pasien dalam rangka memperkirakan risko stokastik akan tidak mudah untuk dilakukan, kecuali dengan mengasumsikan adanya faktor bobot rata-rata seluruh jaringan yang kena risiko.

Semoga menjadi perhatian yang serius ini pelayanan radiologi intervensional / kardiologi intervensional / fluoroskopi intervensional dari aspek proteksi dan keselamatan radiasinya.

Pustaka
[1] Collins Lee, “Radiation Protection for Staff Involved in Fluoroscopy Procedures”, Notes Prepared for Gastroenterological Society of Australia, Medical Physics Dept., Westmead Hospital, NSW, 2001.
[2] American Association of Physicists in Medicine, “Managing The Use of Fluoroscopy in Medical Institutions”, AAPM Report No. 58, Medical Physics Publishing, 1998.
[3] American Association of Physicists in Medicine, “Evaluation of Radiation Exposure Levels in Cine Cardiac Catheterization Laboratories”, AAPM Report No. 12, American Institute of Physics, 1984.
[4] Richard A. Geise, PhD., “Fluoroscopy: Recording of Fluoroscopic Images and Automatic Exposure Control”, The AAPM/RSNA Physics Tutorial for Residents, Imaging & Therapeutic Technology, 2001.
[5] American Association of Physicists in Medicine, “Cardiac Catheterization Equipment Performance”, AAPM Report No. 70, Medical Physics Publishing, 2001.
[6] Donald L. Miller, et al., Radiation Doses in Interventional Radiology Procedures: The RAD-IR Study Part I: Overall Measures of Dose, Clinical Studies, J Vasc Interv Radiol 2003;14:711–727.
[7] Bidemi I. Akinlade, et al., Survey of Dose Area Product Received By Patients Undergoing Common Radiological Examinations in Four Centers in Nigeria, Journal of Applied Clinical Medical Physics, Volume 13, Number 4, 2012.
LihatTutupKomentar